I’ll tell you what freedom is to me, no fear. I mean really, no fear!
-Nina Simone-
“Kamu ga mau nurutin mama ya? nanti kamu kena karma, loh! Kamu tau kan, orang-orang yang ga nurutin mamanya pasti hidupnya susah nanti?”.
“Mama sudah susah-susah melahirkan kamu, eh kamunya malah tidak berguna seperti ini”
Aku mendengar kalimat itu berkali-kali selama dua puluh lima tahun aku hidup, tapi sepertinya aku tidak pernah terbiasa. Buktinya aku selalu menghabiskan energiku untuk menangis setiap mendengarnya.
“Aduh, menangis lagi, dasar cengeng, memalukan”
seakan tidak mau kalah dengan mama, suara di dalam kepalaku juga ikut mengutuk. Tapi bukankah ini wajar? Mama menginginkan aku untuk menjadi anak yang baik dan punya masa depan yang membanggakan, makanya mama mendidikku dengan keras.
Tapi, kenapa rasanya sakit dan capek sekali ya?
Aku merasa kecil, insignifikan dan tidak pernah cukup ketika berhadapan dengan orang tuaku. Membuatku merasa dievaluasi dan diharuskan untuk menjadi anak yang sempurna. Tapi setidaknya, orang tuaku menyediakan tempat tinggal yang nyaman, makanan yang cukup, membawaku ke dokter ketika aku sakit, membiayai pendidikanku, bukankah seharusnya aku menjadi anak yang berbakti dan bersyukur? Tetapi kenapa rasanya sedih sekali ya? Apakah aku anak durhaka?
Di hari Sabtu pagi, aku pergi ke supermarket untuk berbelanja, kemudian perhatianku tertarik ke etalase tanaman. Di antara puluhan kaktus dan succulent, aku memandang satu tanaman di pojok kanan. Batangnya kurus dan pendek, hanya setinggi satu buku jari kelingking. Dibandingkan dengan tanaman lain di etalase, tanaman tersebut sangatlah tidak menarik, tapi entah kenapa sangat beresonansi denganku. Sehingga, aku memutuskan untuk membelinya dan kuberi nama Nina, selayaknya penyanyi Nina Simone.
Tanpa rencana, Nina has held a piece of my heart. Secara antusias, aku menyirami Nina setiap Sabtu, aku membawanya untuk berjemur di teras setiap pagi, juga memasukan Nina ke dalam ruangan ketika hujan. Bahkan kadang aku bertanya kepada Nina apakah ia merasa bahagia dengan matahari atau air yang kuberi. Meskipun Nina tidak bersuara untuk memberikanku jawaban, pertumbuhan Nina setiap harinya sudah membuatku merasa cukup. Setelah sembilan bulan merawat Nina, tinggi Nina tetaplah sebesar buku jari kelingking. Tapi tidak apa, Nina tidak perlu berbunga, Nina tidak perlu cantik, Nina tidak perlu menjadi tanaman yg bisa aku banggakan, yang penting Nina hidup sehat dan bahagia. Lalu aku berpikir, apakah ada orang yang bisa menyayangiku, seperti aku menyayangi Nina?
Hubunganku dan Nina menyadarkanku tentang rasa “disayang” dan “dilindungi”. Ketika aku sadar bahwa aku mampu menerima Nina, aku belajar bahwa akan ada manusia lain yang bisa menerimaku dengan perasaan seperti ini, perasaan “ bebas, cukup dan dicintai apa adanya”. Rasa sayang dan rasa aman yang dirasakan bukanlah sebatas fisik, tetapi juga rasa aman dan rasa sayang secara emosional. Banyak orang yang berpikir selama masih ada atap di untuk melindungi hujan dan masih ada makanan setiap hari, tidak ada alasan untuk tidak berbahagia. Mungkin orang tua kita juga berpikir demikian, tetapi kebutuhan akan rasa aman secara emosional, seperti merasa didengar, dihargai atau dicintai apa adanya oleh orang tua juga tidak kalah penting.
Ketika kita masih kecil, kita adalah seorang bayi manusia yang tidak berdaya dan sangatlah bergantung pada orang tua untuk mengasuh kita. Orang tuaku, selayaknya orang tua pada umumnya, bekerja keras untuk mencari uang dan memenuhi kebutuhan fisikku. Akupun sayang sekali dengan mereka, ketika aku berhasil membuat mereka senang, aku merasa seperti orang paling bahagia di dunia. Hanya saja, ketika orang tuaku memukul, membentak, berteriak dan menghakimi, aku menyalahkan diriku sendiri akan apa yang terjadi. Rasanya seperti jiwaku menyusut keluar, menyisakan cangkangnya saja dan tidak mau kembali lagi. Layaknya hubungan antara performer dan penonton, feedback dari orang tuaku memiliki kendali penuh untuk membuatku sangat senang dan sangat sedih.
Menurut John Gottman, seorang psikolog dan peneliti yang tersohor dari Amerika, dengan merasa aman secara emosional, seseorang dapat merasa rileks secara menyeluruh. Artinya seseorang dapat merasa bebas untuk menunjukkan jati diri, termasuk rasa sakit, takut dan emosi negatif lainnya. Orang tua memegang peran kunci untuk memberikan rasa aman secara emosional, yang pada akhirnya membuat seorang individu memiliki secure attachment. Namun, dewasa ini banyak sekali orang tua yang tidak mampu memberikan rasa aman secara emosional, bahkan menurut Ballint pada tahun 2016, setidaknya 50 persen manusia memiliki insecure attachment. Rasanya perasaan insecure adalah sebuah pandemi yang sulit sekali berakhir.
Perasaan insecure yang berlebihan menjauhkan kita dari rasa cinta kepada diri sendiri dengan cara menyediakan kritik konstan yang tidak ada habisnya. Perasaan insecure juga membuat manusia sulit untuk mendapatkan relasi yang sehat, hal ini dikarenakan rasa “tidak pernah cukup” yang dituntut ke diri kita sendiri dan ke orang lain. Ditambah lagi, beberapa riset juga menunjukan bahwa perasaan insecure membuat kita memiliki resiko tekanan darah tinggi, penyakit autoimun dan insomnia loh. Jadi selayaknya paket komplit, selain memberikan perasaan tidak aman dan tidak disayang, perasaan insecure juga memberikan dampak negatif terhadap fisik.
Nah kabar baiknya, pandemi insecurities bisa dicegah. Namun, bukan dengan menyalahkan orang-orang yang membuat kita merasa insecure, melainkan dimulai dari diri kita sendiri. Kita bisa mulai untuk mengenal, menerima dan mencintai diri kita, dengan begitu kita bisa menjadi orang tua yang secure kedepannya. Sedangkan untuk pasangan yang ingin menjadi orang tua, perlu juga melakukan konseling pra nikah. Hal ini dilakukan agar orang tua mampu membuat anak merasa disayang dan dilindungi secara emosional. Kemudian, untuk menjaga kesehatan mental pada anak-anak, akan lebih baik pula apabila pendidikan akan kesehatan mental diberikan melalui sekolah. Memang tidak akan mudah, tetapi ini adalah investasi jangka panjang untuk memberikan rasa bebas dan aman pada anak-anak Indonesia.
Banyak tenaga profesional yang dengan senang hati siap mendampingi di fase ini, akupun reach-out kepada mereka. Saat ini aku lebih merasa puas dengan hidupku, banyak yang berkata bahwa aku memiliki glow tersendiri setelah mengikuti sesi konseling, mereka pun bertanya tentang rahasianya. Hint yang bisa aku berikan adalah kita mungkin sudah memiliki akses ke cinta yang berlimpah, tapi bukan yang sering kita lihat di film romantis. Jenis cinta yang tulus dan memulihkan pada nyatanya tidak jauh, tetapi ada di dalam diri kita sendiri.
Dikarenakan aku mengikuti sesi konseling dengan psikolog, aku mulai untuk menerima dan menyayangi segala yang terjadi di hidupku, selayaknya aku menyayangi Nina. Aku yakin perjalananku untuk mencintai diriku tidak akan selesai dalam waktu dekat, tetapi aku yakin pada diriku sendiri. Kalau aku bisa belajar mencintai diriku yang penuh kekurangan ini, aku yakin kalian juga bisa memberikan cinta dan rasa dilindungi ke diri kalian sendiri.
Referensi
Balint, E. M., Gander, M., Pokorny, D., Funk, A., Waller, C., & Buchheim, A. (2016). High prevalence of insecure attachment in patients with primary hypertension. Frontiers in psychology, 7, 1087.