Pentingnya Pengelolaan Data Digital Bagi Perlindungan Anak (Artikel ditulis oleh Mahfud Roid Fatoni – Pemenang I Lomba Penulisan Artikel Gerakan Sahabat Anak 2021)

Pendahuluan

Seorang anak jika diibaratkan dalam ilmu ekonomi seperti sebuah aset yang dapat menghasilkan keuntungan dan kerugian dimasa depan. Jika, dikelola dengan baik aset tersebut akan terhindar dari kerugian. Tentunya cara dalam mengelola aset tersebut berbeda dibandingkan pasca perang dunia kedua dengan era digital saat ini. Permasalahan di era digital jauh lebih kompleks dan lebih masif. Seperti dibulan Mei 2021, seorang anak membeli voucher game online senilai Rp800.000 tanpa sepengetahuan orang tua. Namun, seorang kasir minimarket menjadi korban kemarahan orang tua anak tersebut. Kasus ekstrem lainnya seperti hacking akun instagram artis ibu kota yang dilakukan oleh seorang pelajar SMA yang masih berusia 17 tahun di tahun 2016 yang meminta tebusan untuk pemulihan akun.

Contoh kasus diatas adalah pentingnya perlindungan seorang anak di era digital saat ini. Kasus-kasus seperti cyber bullying, cyber crime, konten kekerasan dan pornografi, online hate speech, hoax information bahkan yang lebih buruk human trafficing menjadi masalah yang harus dihadapi seorang anak yang lahir di era digital. Dunia digital cenderung lebih bebas dan tanpa batas dibandingkan dengan kehidupan nyata yang masih terdapat norma dan etika. Anak menjadi sangat rentan mengakses dan mendapatkan produk digital yang bukan untuk dikonsumsi di usia mereka.

Di Irlandia, pengguna digital pada anak-anak memiliki dampak pada mental dan emosional. Penelitian ini menggunakan subjek anak yang lahir pra-milenium dan pasca-milenium untuk dilakukan perbandingan. Kelompok pertama yaitu pasca-milenium lebih aktif dalam perangkat digital dan media sosial. Sementara kelompok kedua adalah anak pra-milenium lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton TV. Kelompok kedua menghabiskan lebih dari 3 jam dalam sehari untuk kegiatan TV dan berdampak pada penurunan mental dan emosional anak secara signifikan. Namun, dampak tersebut menjadi lebih kuat pada kelompok pertama yang memiliki beragam media digital selain TV.[1]

Dunia digital memiliki pengaruh negatif pada perkembangan moral dan karakter bagi anak jika tidak diawasi oleh orang tua. Komunikasi dunia maya lebih terbuka tetapi komunikasi dunia nyata menjadi lebih tertutup, anak-anak cenderung dipersonalisasi dan anti-sosial. Etiket dan moral yang ditanam oleh orang tua memudar karena kurangnya komunikasi langsung dengan orang lain dan media sosial yang ditonton oleh anak-anak tidak menunjukkan pesan moral dan contoh untuk berbuat baik dan sopan terhadap orang lain.[2]

Meski terlihat sangat mengerikan bagi pertumbuhan seorang anak. Dunia digital  saat ini muncul sebagai kebutuhan manusia untuk memiliki kehidupan yang lebih cepat, lebih transparan dan jawaban mengatasi beragam masalah. Semua orang dapat berjualan tanpa perlu menyewa sebuah ruko. Seorang pelancong tidak perlu membeli sebuah peta yang berlembar-lembar banyaknya. Bahkan seorang anak dapat memahami makna keberagaman di luar rumah anak hanya perlu menonton konten digital edukatif.

 

 

 

 

Saat ini, di Mata “Pramusaji Digital” Semua Manusia Sama.

Ujung benang yang kusut ini berawal dari pengelolaan data. Data menjadi landasan penting untuk dapat mengidentifikasi produk digital tersebut dikonsumsi untuk siapa. Seorang pramusaji akan menyarankan buku Princess Daisy kepada seorang anak ketimbang buku Homo Deus. Seorang anak akan dilarang untuk menaiki wahana Halilintar di Ancol karena berisiko tinggi. Berbeda dengan dunia digital saat ini, seorang pramusaji (yaitu algoritma) tidak mampu mengidentifikasi subjek karena terbatasnya data yang dimiliki dari database. Akibatnya, algoritma melihat semua pengguna digital sama. Bisa jadi, algoritma mengidentifikasi seorang anak berusia 10 tahun sebagai manusia dewasa. Dan menjadi mungkin seorang anak mengkonsumsi produk digital yang seharusnya tidak dikonsumsi.

Hal ini bisa menjadi jawaban kenapa tingkat pengakses pornografi cukup tinggi khususnya anak di bawah umur. Karena algoritma tidak bisa mengidentifikasi subjek untuk melarang anak di bawah umur mengkonsumsi produk digital seperti konten pornografi. Seperti penelitian yang dilakukan Kemenkes, sebanyak 1340 siswa SMP/MTs dan SMA/MA di DKI Jakarta dan Banten, terpapar pornografi derajat 1 (94,5%), 3,7 Persen terpapar derajat 2 dan 0,1 persen terpapat derajat 3.[3]

 

Pentingnya Sebuah Data Bagi Perlindungan Anak

Terdapat dua kunci dari benang kusut ini. Pertama, registrasi data subjek pengguna digital. Registrasi tidak hanya mendaftarkan diri pada akun media sosial. Registrasi kepemilikan smartphone, sim-card, hingga produk digital merupakan hal penting. Banyak dari kita yang menganggap remeh akan pentingnya tahap ini. Seperti, sebagian orang tua menganggap registrasi smartphone hingga produk digital untuk anaknya cukup menggunakan data orang tua. Padahal, data yang tersimpan di database akan mempengaruhi identifikasi algoritma konsumsi digital. Ketika data yang diterima adalah data orang yang berumur diatas 17 tahun dan dikategorikan dewasa. Maka pengguna akan mengkonsmsi produk digital secara bebas tidak mengenal apakah smartphone/akun digital digunakan seorang anak dibawah usia 17 tahun.

Kedua, pentingnya regulasi pemerintah terkait registrasi subjek data dan tentunya pentingnya perlindungan data. Aturan mengenai registrasi data pengguna digital sejauh ini baru ada untuk registrasi sim-card. Meski begitu, pemerintah perlu didorong untuk dapat memberikan perlindungan produk digital khususnya pada anak-anak. Belajar dari Google, Google memberikan aturan yang cukup ketat tentang batas usia minimum mengelola akun. Dalam aturannya, jika seorang anak belum berusia 13 tahun. Seorang anak belum bisa mengelola akunya sendiri atau terbatas. Dan orang tua dapat mengawasi, mengelola bahkan memblokir akun Google anak melalui Family Link. Di dalam platform tersebut, orang tua dapat menindak aplikasi yang digunakan oleh anak. Selain itu, orang tua juga dapat mengelola pembelian dalam aplikasi dan bahkan dapat memutuskan lama waktu pemakaian smartphone anak. Baru setelah anak berusia 14 tahun, anak berhak memilih untuk dapat mengelola akun Google secara mandiri. Dalam sepengetahuan penulis, saat ini pemerintah belum memiliki peraturan yang menyerupai aturan Google bahkan aturan tentang batas minimum. Sejauh ini di Asia baru Korea Selatan yang memberikan batas minimum 14 tahun keatas dan Vietnam 15 tahun keatas.

Saatnya pemerintah mengubah orientasi perlindungan produk konten digital pada anak, seperti yang dilakukan Korea Selatan dan Vietnam. Ketimbang memberikan himbauan kepada orang tua untuk lebih mengawasi anak mengakses produk digital atau memblokir produk digital. Meski begitu, penulis sadar dunia digital lebih kompleks dan tidak semudah penjelasan konsep diatas. Di era digital saat ini, tidak sama dengan sebuah pasar tradisional yang dapat diisi oleh beragam lapak penjual dan dapat diketahui berapa lapak yang ada di pasar serta memiliki identitas yang jelas lapak tersebut. Dunia digital adalah dunia yang tak terbatas. Seorang kreator yang memiliki produk digital tak perlu khawatir ketika produk digital tersebut diblokir oleh regulator. Kreator hanya perlu membuat lapak baru dengan produk digital yang sama.

[1] Bohnert, Melissa., Gracia, Pablo. 2020. Emerging Digital Generation? Impacts of Child Digital Use on Mental and Socioemotional Well-Being across Two Cohorts in Ireland, 2007-2018. Child Indicators Research 14. Hlm 629-659.

[2] Nugraheni, Alfirda Dewi. 2018. The Influence of the Digital Age on Early Childhood Education Based Characters. Proceedings of the 4th Internasional Conference on Early Childhood Education. Semarang Early Childhood Research and Education Talks (Secret 2018). Hlm 205-208

[3] Maisya, Iram Barida., Masitoh, Siti. 2019. Degree of Pornographic Content Exposure in Intermediete Schools Students in Jakarta and Banten Province Indonesia. Jurnal Kesehatan Reproduksi 10 (2). Hlm 117-126.

Categories: BERITA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *