Sudah makan apa saja seharian ini? Bisa jadi, ini bukan pertanyaan yang sulit dijawab buat kebanyakan kita. Bahkan tanpa diminta pun, kita akan berceloteh menceritakan perasaan senang, kesal, atau surprise akibat kita makan. Tidak sebatas itu, detil rasa dan bentuk hidangan bahkan terkadang komplit dengan kandungan kalori dan gizinya meluncur dengan ringan dari bibir ini. Makan memang kegiatan yang menstimulus rasa senang. Sayang, tidak semua orang bisa mengalaminya.
Suatu kesempatan, saya menonton film pendek dari Youtube, yang dikirim seorang sahabat. Terlihat seorang bapak paruh baya, sibuk menyatroni resto fast food satu ke resto fast food lainnya. Sebuah wadah besar ada di tangannya. Ternyata bapak tersebut, melakukan yang mungkin membuat Anda merasa miris sekaligus mual ingin muntah. Bagaimana tidak, sisa-sisa hidangan para konsumen yang datang ke resto ayam goreng tersebut yang telah tidak berbentuk, bercampur dengan tissue kotor, dan sisa bahan makanan lain, dituang dari tong sampah resto ke dalam wadah besar yang dia bawa. Dan, betapa terkejutnya saya, ketika menyaksikan mimik bahagia dari anak-anaknya saat pria paruh baya itu tiba di rumah. Yang lebih membuat saya tidak tahan menahan mual adalah dengan lahap mereka pun menikmati hidangan sampah sisa makanan dari resto fast food tadi.
Sampai di sini, tubuh saya merinding, saya malu dan tertunduk. Bibir ini kelu rasanya. “Bagaimana mungkin?”, hati saya bertanya. Pertanyaan bodoh memang, tapi itulah yang saya lakukan. Memang kejadian di atas bukan terjadi di Indonesia, tetapi di salah satu negara tetangga. Tapi apakah patut saya membela diri dengan pernyataan tersebut? Siapa yang bisa jamin kejadian serupa tidak terjadi di negeri kita? Setiap hari saya bisa menyaksikan anak-anak marginal mengais rejeki bahkan hidup di jalanan. Boro-boro bicara makan sehat bagi anak jalanan, sekarang saja pemerintah masih disibukkan pemolesan fasilitas pejabatnya seperti rumah dinas dan komputer! Bayangkan, akan jadi apa kelak anak-anak tersebut?
Anthelme Brillat-Savarin (1826) berkata, “Tell me what you eat and I will tell you what you are.” Di Indonesia, merujuk pada data yang dikeluarkan Departemen Kesehatan tahun 2008, ada 18 juta anak Indonesia kekurangan gizi. Saya rasa tidak sulit bagi Anthelme mendeskripsikan siapa dan bagaimana anak Indonesia di tahun 2010 yang baru berjalan lebih kurang 41 hari ini! Saya kutip sepenggal puisi Adhie Massardi yang bertajuk “Negeri Para Bedebah”: ”Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah? Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah tapi rakyatnya makan dari mengais sampah atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah…” Masihkah ada harapan, di negeri kita yang menurut Adhie Massardi, adalah negeri para bedebah ini?
Kejadian Prita Mulyasari bisa jadi antitesis dari puisi Adhie Massardi. Di negeri para bedebah ini masih ada harapan! Saya bersama Anda dan seluruh rakyat Indonesia masih punya hati nurani dan rasa keadilan kok! Buktinya jumlah koin Prita Mulyasari terkumpul menjadi sebesar Rp 615.562.043 juta (kompas.com/30/12/2009). Bisa jadi koin dari Andalah yang menggenapkan jumlah tersebut. Sehingga Prita pun bisa bebas dari hukuman penjara (kalau pun dia tidak menang di pengadilan)!
Anak-anak marginal berada dalam kondisi sama, bahkan (bisa jadi) lebih buruk dari Prita. WHO mengatakan bahwa faktor gizi merupakan 54% kontributor penyebab kematian. Sedangkan dampak jangka panjangnya adalah kemunduran fisik, mental, dan kecerdasan. Mengingat semua kondisi tersebut, kampanye nutrisi sebagai hak anak – termasuk bagi anak marginal (anak jalanan, pemulung, keluarga miskin, dan lainnya) – menjadi pesan utama yang diusung SAHABAT ANAK tahun 2010 ini. Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme untuk fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan. Nutrisi didapatkan dari makanan dan cairan yang selanjutnya diasimilasi oleh tubuh.
Sebagai Sahabat, tentu saja Anda tidak mungkin tega membiarkan semakin banyak anak-anak – termasuk anak marginal – sebagai penerus generasi bangsa ini menjadi pengais rejeki di negeri orang dengan upah serapah dan bogem mentah. Mari Sahabat, kita ambil bagian meringankan beban mereka dengan menyisihkan selembar uang Rp 50.000 sebagai perhitungan biaya asupan nutrisi rutin bagi anak-anak marginal binaan SAHABAT ANAK dan distribusi momental bagi lembaga sejenis lainnya, dengan target 3.000 anak sejabodetabek.
Mungkin Anda berkata, “usaha ini seperti membuang garam di lautan.” Sebuah utopia di tengah-tengah kondisi Indonesia yang makin terpuruk. Belum lagi, adanya peraturan pasar bebas di tahun 2010 ini. Bayangkan, produk-produk nonlokal makin membanjiri pasar kita dengan harga murah, bersaing dengan produk lokal yang merupakan karya anak bangsa. Bayangkan kalau anak bangsa Indonesia generasi berikutnya terancam kemunduran fisik, mental, dan kecerdasan karena kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi.
Optimis! Harapan masih ada. Uluran tangan Anda, para SAHABAT akan menjadi awal langkah yang sangat berarti dan tidak stop hanya pada kesempatan menyambut Hari Sahabat Anak 17 Februari 2010 nanti. Jadilah juga pengawas yang berintregritas dalam terlaksananya kampanye nutrisi ini sehingga Anda tahu bantuan Anda sampai pada sasaran yang dituju. Mari lakukan gerakan perubahan positif!